Sabtu, 17 November 2012

Perikatan Dalam Hukum Kontrak


1. Pengertian Perikatan
A.     Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut“ver bintenis ”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Sumber Hukum Perikatan Pada dasarnya, ada sedikit kemiripan antara hukum perdata di Indonesia dengan di Mesir,dikarenakan negara Mesir sendiri mengadopsi hukum dari Perancis, sedangkan Indonesia mengadopsi hukum dari Belanda, dan Hukum Perdata Negara Belanda berasal dari Hukum Perdata Perancis (yang terkenal dengan nama Code Napoleon). Jadi, hukum perdata yang di Indonesia dengan di Mesir pada hakikatnya sama. Akan tetapi hanya bab dan pembagiannya saja yang membedekannya dikarenakan berasal dari satu nenek moyang yang sama.
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang- undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Contoh dalam perikatan yang timbul karena perbuatan menurut hukum contohnya; mengurus kepentingan orang lain secara sukarela sebagaimana tertera dalam pasal 1354, dan pembayaran yang tak terutang tertera dalam pasal 1359. Contoh dari perikatan yang timbul dari undang- undang melulu telah tertera dalam pasal 104 mengenai kewajiban alimentasi antara kedua orang tua, misalnya; Ahmad menikah dengan Fatimah, pada dasarnya Ahmad dan Fatimah hanya melakukan akad nikah, dengan adanya akad nikah maka timbulah suatu keterikatan yang lainnya yaitu saling menjaga, menafkahi dan memelihara anak mereka bila lahir nantinya. Contoh lain dari undang-undang melulu telah tertera dalam pasal 625 mengenai hukum tetangga; yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Selain itu, juga terdapat pula perikatan yang timbul karena melawan hukum. Contohnya; mengganti kerugian terhadap orang yang dirugikan, sebagaimana tertera dalam pasal 1365 KUH Perdata.
Adapun, sumber-sumber pokok perikatan yang ada di Mesir adalah adanya perjanjian (keinginan kedua belah pihak) dan tidak adanya perjanjian (muncul karena ketidaksengajaan atau muncul tanpa keinginan kedua belah pihak). Dan definisi perjanjian secara epistimologi adalahar r obt(u) atau perikatan, dan secara etimologi; kesepakatan kedua belah pihak atau lebih untuk melakukan sesuatu hal yang telah disepakati. Dan syarat syahnya perjanjian harus adanya keridhoan/kesepakatan antara kedua belah pihak, jadi di dalam isi perjanjian, kedua belah pihak harus saling mengetahui maksud dari perjanjian tersebut, dan tidak boleh hanya menguntungkan
Satu pihak saja. Dan syarat yang lainnya, adanya obyek yang halal, yang tidak melanggar undang-undang dan norma-norma kehidupan di masyarakat. Dan sumber tidak adanya perjanjian dapat dibagi menjadi; pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian, memperkaya diri tanpa alasan, dan undang-undang.
B.     Dasar Hukum
Dasar hukum perikatan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
-Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
-Perikatan yang undang-undang.
-Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

C.  Asas-Asas dalam Hukum Perikatan
      Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1.  Asas Kebebasan Berkontrak, terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.  Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah : Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.  Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

D.  Wanprestasi
       Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk yang timbul dari adanya perjanjian yang dibuat oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih lainnya (obligatoire overeenkomst), Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
-  Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
-  Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
-  Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
-  Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
       Dalam kenyataannya, sukar menentukan saat debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan karena ketika mengadakan perjanjian pihak- pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan dalam perikatan, waktu untuk melaksanakan prestasi ditentukan, cedera janji tidak terjadi dengan sendirinya. Pernyataan Lalai (ingebreke stelling) Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhinya perikatan ialah kreditur dapat meminta ganti rugi atas biaya rugi dan bunga yang dideritanya. Adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka Undang- undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebreke stelling). “Lembaga “Pernyataan Lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada sesuatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji” (pasal 1238 KUH Perdata). “ yang berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demikian perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa siberutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan” (pasal 1238 KUH Perdata) Bentuk- bentuk pernyataan lalai bermacam- macam, dapat dengan :

1. Surat Perintah (bevel)
      Surat perintah ( bevel) adalah exploit juru sita. Exploit adalah perintah lisan yang disampaikan juru sita kepada debitur. Didalam praktek, yang ditafsirkan dengan exploit ini adalah “salinan surat peringatan” yang berisi perintah tadi, yang ditinggalkan juru sita pada debitur yang menerima peringatan. Jadi bukan perintah lisannya padahal “turunan” surat itu tadi adalah sekunder.
2. Akta Sejenis (soortgelijke akte)
     Membaca kata- kata akta sejenis, maka kita mendapat kesan bahwa yang dimaksud dengan akta itu ialah akta atentik yang sejenis dengan exploit juru sita.
3. Demi Perikatan Sendiri
     Perikatan mungkin terjadi apabila pihak- pihak menentukan terlebih dahulu saat adanya kelalaian dari debitur didalam suatu perjanjian, misalnya pada perjanjian dengan ketentuan waktu. Secara teoritis suatu perikatan lalai adalah tidak perlu, jadi dengan lampaunya suatu waktu, keadaan lalai itu terjadi dengan sendirinya.
2. Pengertian Perikatan Karena Perjanjian
Perjanjian berdasarkan pasal 1313 BW, maka “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Dari sini dapat dipahami bahwa terdapat para pihak yang bersepakat untuk melakukan perikatan. Para pihak tersebut dapat disebut dengan kreditur dan debitur. Perjanjian merupakan instrument yang dapat digunakan oleh para pihak, demi menjamin kepentingannya masing – masing.
Dalam hal ini hukum perdata merupakan hukum yang bersifat mengatur atau disebut juga dengan regelend recht. Hal dapat ditafsirkan, bahwa para pihak dapat membuat suatu perikatan sesuai dengan kehendaknya, namun tidak boleh melanggar ketentuan undang – undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Di sinilah dapat dikatakan, adanya asas kebebasan berkontrak, yang merupakan salah satu asas terpenting dalam perjanjian dapat diberlakukan melalui kehendak para pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian.
Selanjutnya, perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut akan menjadi lex specialist derogate legi generalis bagi para pihak yang berjanji, yaitu perjanjian tersebut akan mengesampingkan peraturan – peraturan yang lainnya, namun apabila suatu ketentuan tidak diatur dalam perjanjian tersebut, maka akan berlaku peraturan yang bersifat umum. Selain itu, bahwa perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak akan mempunyai kekuatan mengikat sebagai mana undang – undang bagi keduanya, hal ini dikenal dengan asas pacta sunt servanda.

3. Pengertian Perikatan Karena Undang – Undang
Sebagaimana namanya, bahwa undang – undang dapat dijadikan acuan dalam suatu perikatan (contohnya : jual beli dan sewa menyewa). Undang – undang telah mengaturnya dan para pihak dapat menjadikannya acuan dalam perikatan yang dilakukannya. Namun meskipun telah diatur dalam undang – undang, sebagaimana yang telah dikemukakan pada poin satu di atas, bahwa perikatan masuk dalam ranah hukum perdata dan bersifat regelend recht. Jadi para pihak dapat memilih, sesuai dengan undang – undang sajakah, ataukah membuat suatu perjanjian.
Hal ini dapat dipahami, bahwa perikatan yang bersumber dari undang – undang terbagi menjadi 2, yaitu : ditentukan oleh undang – undang dan perbuatan manusia (perjanjian)
Hal – hal di atas menurut pendapat saya merupakan fakta – fakta hukum yang dapat dikemukakan tentang ketentuan pasal 1233 BW.

4. Perbedaan Antara Perikatan Karena Perjanjian dengan Perikatan Karena Undang-Undang
Setelah membaca beberapa referensi mengenai perikatan yang timbul karena perjanjian dan perikatan yang timbul karena UU, saya berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara kedua jenis perikatan tersebut. Perbedaan itu antara lain :
a.       Dalam perikatan karena perjanjian, para pihak dapat membuat suatu perikatan sesuai dengan kehendaknya, namun tidak boleh melanggar ketentuan undang – undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini menunjukkan bahwa asas kebebasan berkontrak benar-benar diterapkan. Sedangkan Perikatan yang timbul karena UU tidak mengedepankan asas kebebasan berkontrak karena perikatan yang akan dilakukan sudah diatur dalam UU dan para pihak harus menjadikan UU tersebut sebagai acuan dalam membuat sebuah perikatan sehingga para pihak tidak bisa bebas membuat poin-poin perjanjian sendiri, misal perjanjian jual beli tanah.

b.      Pada perikatan karena perjanjian, kehendak para pihak memang tertuju kepada akibat hukum tertentu yang memang dikehendaki oleh para pihak atau dianggap menghendaki munculnya perikatan sebagai akibat hukum dari perjanjian yang mereka sepakati. Sedangkan pada perikatan karena UU, kehendak para pihak  tidaklah tertuju kepada akibat hukum yang muncul antara mereka sebagai akibat perbuatan mereka dan dapat dikatakan, bahwa pada umumnya, mereka sama sekali tidak menghendaki akibat hukum seperti itu.



Sumber Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar